Bahaya
Amiku Di Kantor
Suplai
air minum di kantor-kantor sering berasal dari air minum kemasan ulang (amiku)
yang dikenal dengan sebutan air isi ulang. Bergalon-galon amiku diserap
oleh kantor setiap hari, khususnya kantor-kantor di kota besar. Memang ada juga yang berlangganan amik (air minum kemasan) dari berbagai merek. Untuk yang satu ini, ancaman bencana tetap masih ada dan bisa diajukan ke pengadilan karena jelas siapa produsen dan di mana keberadaannya. Apalagi
perusahaan amik tersebut termasuk perusahaan besar kaya raya dan beberapa di antaranya menjadi bagian dari korporasi air multinasional.
Namun masalah akan muncul jika terjadi kasus keracunan dari amiku yang umumnya pengusaha kecil, bermodal di bawah 30 juta rupiah. Secara teknis, unit pengolah amiku tidaklah selengkap unit yang diterapkan amik. Tapi tidak berarti semua perusahaan amik sudah menerapkan unit pengolah yang canggih dan lengkap. Bagaimanapun, unit yang diterapkannya selalu mengacu pada sumber air yang digunakan atau bergantung pada kualitasnya. Ada “pabrik” amik yang betul-betul bagus pengolahannya tapi ada juga yang “biasa-biasa” saja. Belum tentu satu perusahaan amik seragam kualitas pengolahannya di semua unit pembotolannya di seluruh Indonesia. Yang di Jawa Barat belum tentu setara kualitas pengolahannya dengan yang di Jawa Timur, di Kalimantan, atau di Bali misalnya.
Umumnya sumber air amik adalah mata air yang berada di dekat hutan atau di gunung-gunung sehingga diasumsikan bebas polusi. Hanya saja harus diingat bahwa polusi itu tak hanya berasal dari manusia (antropogenik) tapi bisa juga dari alam. Air dari mata air belum tentu bebas polusi jika berasal dari formasi geologi yang kaya mineral berbahaya. Andaipun tidak berasal dari formasi batuan yang berbahaya, kandungan kalsium, magnesium, besi dan mangan pun boleh jadi jauh melampaui batas maksimum yang disyaratkan untuk air minum. Ini pun bisa menjadi halangan dan memperburuk kualitas amik sehingga sangat dipengaruhi oleh unit pengolah apa saja yang digunakan untuk mengolahnya. Demikian pula jika airnya berasal dari air gambut atau sedikit banyak mengandung asam-asam humat. Amiku juga demikian. Banyak depot amiku membeli air dari pemerintah daerah atau yang sering terjadi, pengusaha amiku membeli air ke lurah atau kepala desa setempat. Uangnya tidak masuk ke pemerintah daerah (ke APBD) tapi diambil dan dibagi-bagi oleh aparat desa dan keamanan (TNI, polisi dan pegawai di Dinas Sumber Daya Air atau dinas lainnya). Katakanlah semacam kongkalikong di antara mereka. Selain mata air, amiku juga ada yang memanfaatkan air PDAM dan air tanah dalam. Bahkan air sumur dangkal sekalipun.
Namun demikian, dari sisi teknologi pengolahan air, semua air tersebut boleh-boleh saja digunakan sebagai sumber air bagi amiku. Yang menjadi masalah sebetulnya adalah unit operasi dan prosesnya. Inilah yang terpenting dan inilah yang potensial mengundang bahaya di kantor-kantor dan tentu saja di rumah tangga. Bahaya yang muncul memang sering tidak tampak atau tak terasa. Air tersebut tampak biasa-biasa saja dan jernih-jernih saja. Apalagi pegawai biasanya tak begitu awas dengan memperhatikan secara seksama air minumnya, diteliti dan dilihat-lihat dulu sebelum diminum. Biasanya langsung dituang ke gelas dan tanpa curiga langsung diteguk habis. Terlebih lagi kalau mereka tak tahu ilmu tentang kualitas air. Dikiranya air jernih pasti tak mengancam kesehatannya yang dampaknya memang sering tidak instan, tidak akut. Hanya sesekali kasus akut terjadi seperti sakit perut masal.
Namun bukan berarti kalau tidak sakit perut air tersebut pasti tak berbahaya. Sebab, boleh jadi muncul dampak kronis setelah sekian tahun kemudian. Jika air tersebut tidak memenuhi syarat kualitas air minum akan menjadi bara dalam sekam yang sewaktu-waktu pada masa depan potensial “meletup” berupa sakit ginjal, hipertensi, hepar, dll. Apalagi kalau unit amiku tersebut ada yang sudah melewati “life time”-nya tapi tidak diganti dengan yang baru lantaran ingin untung sebesar-besarnya, tak peduli pada kesehatan konsumen. Itu sebabnya perlu disebarkan kepada masyarakat, para pegawai di kantor-kantor (dan tentu saja masyarakat umum lainnya juga) prinsip dasar bahwa air jernih tak selalu bersih. Jernih tak sama dengan bersih. Mulai sekarang, sebelum meneguk air, pikirkanlah barang dua-tiga detik apakah air digenggaman kita itu sudah bersih atau hanya sekadar jernih. Adakah “racun” di dalamnya yang tak kasat mata sehingga mungkin berdampak buruk bagi kesehatan kita sekian tahun kemudian? Ternyata perkara minum yang sudah puluhan tahun dilakoni tak sesederhana yang diduga. Kebiasaan memang melenakan tapi kerapkali melinukan tubuh. Kalau tidak sekarang, maukah meradang pada masa mendatang?
oleh kantor setiap hari, khususnya kantor-kantor di kota besar. Memang ada juga yang berlangganan amik (air minum kemasan) dari berbagai merek. Untuk yang satu ini, ancaman bencana tetap masih ada dan bisa diajukan ke pengadilan karena jelas siapa produsen dan di mana keberadaannya. Apalagi
perusahaan amik tersebut termasuk perusahaan besar kaya raya dan beberapa di antaranya menjadi bagian dari korporasi air multinasional.
Namun masalah akan muncul jika terjadi kasus keracunan dari amiku yang umumnya pengusaha kecil, bermodal di bawah 30 juta rupiah. Secara teknis, unit pengolah amiku tidaklah selengkap unit yang diterapkan amik. Tapi tidak berarti semua perusahaan amik sudah menerapkan unit pengolah yang canggih dan lengkap. Bagaimanapun, unit yang diterapkannya selalu mengacu pada sumber air yang digunakan atau bergantung pada kualitasnya. Ada “pabrik” amik yang betul-betul bagus pengolahannya tapi ada juga yang “biasa-biasa” saja. Belum tentu satu perusahaan amik seragam kualitas pengolahannya di semua unit pembotolannya di seluruh Indonesia. Yang di Jawa Barat belum tentu setara kualitas pengolahannya dengan yang di Jawa Timur, di Kalimantan, atau di Bali misalnya.
Umumnya sumber air amik adalah mata air yang berada di dekat hutan atau di gunung-gunung sehingga diasumsikan bebas polusi. Hanya saja harus diingat bahwa polusi itu tak hanya berasal dari manusia (antropogenik) tapi bisa juga dari alam. Air dari mata air belum tentu bebas polusi jika berasal dari formasi geologi yang kaya mineral berbahaya. Andaipun tidak berasal dari formasi batuan yang berbahaya, kandungan kalsium, magnesium, besi dan mangan pun boleh jadi jauh melampaui batas maksimum yang disyaratkan untuk air minum. Ini pun bisa menjadi halangan dan memperburuk kualitas amik sehingga sangat dipengaruhi oleh unit pengolah apa saja yang digunakan untuk mengolahnya. Demikian pula jika airnya berasal dari air gambut atau sedikit banyak mengandung asam-asam humat. Amiku juga demikian. Banyak depot amiku membeli air dari pemerintah daerah atau yang sering terjadi, pengusaha amiku membeli air ke lurah atau kepala desa setempat. Uangnya tidak masuk ke pemerintah daerah (ke APBD) tapi diambil dan dibagi-bagi oleh aparat desa dan keamanan (TNI, polisi dan pegawai di Dinas Sumber Daya Air atau dinas lainnya). Katakanlah semacam kongkalikong di antara mereka. Selain mata air, amiku juga ada yang memanfaatkan air PDAM dan air tanah dalam. Bahkan air sumur dangkal sekalipun.
Namun demikian, dari sisi teknologi pengolahan air, semua air tersebut boleh-boleh saja digunakan sebagai sumber air bagi amiku. Yang menjadi masalah sebetulnya adalah unit operasi dan prosesnya. Inilah yang terpenting dan inilah yang potensial mengundang bahaya di kantor-kantor dan tentu saja di rumah tangga. Bahaya yang muncul memang sering tidak tampak atau tak terasa. Air tersebut tampak biasa-biasa saja dan jernih-jernih saja. Apalagi pegawai biasanya tak begitu awas dengan memperhatikan secara seksama air minumnya, diteliti dan dilihat-lihat dulu sebelum diminum. Biasanya langsung dituang ke gelas dan tanpa curiga langsung diteguk habis. Terlebih lagi kalau mereka tak tahu ilmu tentang kualitas air. Dikiranya air jernih pasti tak mengancam kesehatannya yang dampaknya memang sering tidak instan, tidak akut. Hanya sesekali kasus akut terjadi seperti sakit perut masal.
Namun bukan berarti kalau tidak sakit perut air tersebut pasti tak berbahaya. Sebab, boleh jadi muncul dampak kronis setelah sekian tahun kemudian. Jika air tersebut tidak memenuhi syarat kualitas air minum akan menjadi bara dalam sekam yang sewaktu-waktu pada masa depan potensial “meletup” berupa sakit ginjal, hipertensi, hepar, dll. Apalagi kalau unit amiku tersebut ada yang sudah melewati “life time”-nya tapi tidak diganti dengan yang baru lantaran ingin untung sebesar-besarnya, tak peduli pada kesehatan konsumen. Itu sebabnya perlu disebarkan kepada masyarakat, para pegawai di kantor-kantor (dan tentu saja masyarakat umum lainnya juga) prinsip dasar bahwa air jernih tak selalu bersih. Jernih tak sama dengan bersih. Mulai sekarang, sebelum meneguk air, pikirkanlah barang dua-tiga detik apakah air digenggaman kita itu sudah bersih atau hanya sekadar jernih. Adakah “racun” di dalamnya yang tak kasat mata sehingga mungkin berdampak buruk bagi kesehatan kita sekian tahun kemudian? Ternyata perkara minum yang sudah puluhan tahun dilakoni tak sesederhana yang diduga. Kebiasaan memang melenakan tapi kerapkali melinukan tubuh. Kalau tidak sekarang, maukah meradang pada masa mendatang?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar